Sekolah hukum yang pertama di Indonesia didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1909 dengan nama Rechtsschool. Sekolah ini ditempatkan di Batavia, sebagai realisasi permintaan P.A. Achmad Djajadiningrat, Bupati Serang, untuk keperluan mengisi tenaga-tenaga hukum di pengadilan kabupaten. Sekolah ini pada mulanya terdiri dari Bagian Persiapan dan Bagian Keahlian Hukum. Sekolah Hukum ini kemudian ditingkatkan menjadi suatu lembaga pendidikan tinggi dengan nama Rechtshogeschool atau Faculteit der Rechtsgeleerdheid, yang dibuka pada tanggal 28 Oktober 1924 oleh Gubernur Jendral D. Fockt di balai sidang Museum van het Bataviasche Vennootschap van Kunsten en Wetenschappen di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. Seorang Guru Besar Belanda kenamaan, Prof. Mr. Paul Scholten ditunjuk untuk memimpin Rechtshogeschool tersebut. Dengan dibukanya Sekolah Tinggi Hukum ini, maka pada tanggal 18 Mei 1928 Sekolah Hukum ditutup.
Kedua nama tersebut di atas dipergunakan dalam peraturan perguruan tinggi pada waktu itu, yaitu Hooger Onderwijs-Ordonnantie (S.1924 No. 456, dirubah antara lain oleh S. 1926 No. 338 dan No. 502, S. 1927 No. 395, S. 1926 No. 348, S. 1929 No. 222, S. 1932 No. 14, S. 1933 No. 345, S. 1934 No. 529).
Menurut peraturan tersebut di atas, mata kuliah yang diberikan pada Rechtshogeschool adalah (pasal 9): Pengantar Ilmu Hukum, Hukum Tata Negara dan Administrasi, Hukum Perdata dan Acara Perdata, Hukum Pidana dan Acara Pidana, Hukum Adat, Hukum dan Pranata Islam, Hukum Dagang, Sosiologi, Ilmu Pemerintahan, Ilmu Bangsa-bangsa Hindia Belanda, Bahasa Melayu, Bahasa Jawa, Bahasa Latin, Filsafat Hukum, Asas-asas Hukum Perdata Romawi, Hukum Perdata Internasional, Hukum Intergentil, Kriminologi, Psikologi, Ilmu Kedokteran Forensik, Hukum Internasional, Hukum Kolonial Luar Negeri, Sejarah Hindia Belanda dan Statistik. Dengan keputusan Gubernur Jenderal keduapuluh empat mata kuliah tersebut di atas masih dapat ditambah untuk menjaga agar pendidikan hukum dapat mengikuti dan mengarahkan perkembangan masyarakat.
Lama pendidikan di Rechtshogeschool adalah lima tahun yang dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama diselesaikan dalam dua tahun dengan ujian kandidat (candidaatsexamen), dan tahap kedua dengan ujian doktoral (doctoraal-examen). Pada tahun yang terakhir, yang dikenal sebagai ujian doktoral bagian ketiga terdapat pemecahan dalam empat jurusan (richtingen) yang dapat dipilih mahasiswa, yaitu: Hukum Keperdataan, Hukum Kepidanaan, Hukum Ketatanegaraan, dan Sosiologi-Ekonomi. Mereka yang telah lulus ujian ini berhak memakai gelar Meester in de Rechten (pasal 10). Gelar ini memberikan kewenangan kepada yang bersangkutan untuk diangkat menjadi: (a) advokat dan pengacara serta jabatan-jabatan dalam bidang kehakiman lainnya, dan (b) pegawai pemerintah serta dalam bidang pendidikan (pasal 20). Peraturan pendidikan Rechtshogeschool telah dikeluarkan dalam S. 1924 No. 457 yang telah ditambah dan diubah terakhir oleh S. 1936 No. 106 dan 438.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) Rechtshogeschool ditutup dan baru dibuka kembali pada tahun 1946 dengan nama Faculteit der Rechtsgeleerdheid en Sociale Wetenschappen sebagai bagian dari Nood-Universiteit van Indonesië (dibuka 21 Januari 1946). Lembaga pendidikan tinggi ini didirikan oleh pemerintahan NICA (Netherlands' Indies Civil Administration).
Pemerintah Republik Indonesia telah mendirikan lembaga pendidikan tingginya sendiri lima bulan sebelum itu dengan nama Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia yaitu pada tanggal 19 Agustus 1945. Lembaga ini pada mulanya terdiri atas empat fakultas, yaitu Kedokteran, Farmasi, Hukum dan Sastra. Meskipun sebagian dari kegiatan Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia ini dialihkan ke luar Jakarta (ke daerah R.I. yang berpusat di Yogyakarta) tetapi sebagian besar kegiatan masih berada di Jakarta di bawah pimpinan antara lain: Prof. dr. Sarwono Prawirohardjo, Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro, Prof. dr. Slamet Iman Santoso dan Prof. Mr. Sudiman Kartohadiprodjo.
Dengan adanya pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, maka pada tanggal 30 Januari 1950 telah dikeluarkan Undang-undang Darurat No. 7 tahun 1950, yang memberi kewenangan kepada Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan untuk mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan bagi pembinaan lembaga pendidikan tinggi di Indonesia.
Pada tanggal 2 Pebruari 1950 terjadilah perundingan antara pihak Republik Indonesia (diwakili antara lain oleh dr. Abu Hanifah) dengan pihak Belanda bertempat di Aula Fakultas Kedokteran, Jalan Salemba No. 6 Jakarta. Perundingan ini tidak berjalan dengan semestinya dan berakhir dengan kekacauan. Akan tetapi pada hari itulah juga lahir suatu lembaga pendidikan baru, yang bernama Universiteit Indonesia (kemudian menjadi Universitas Indonesia).
Universitas ini merupakan penggabungan dari Universiteit van Indonesië dengan Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah penggabungan dari Faculteit der Rechtsgeleerdheid en Sociale Wetenschappen dengan Fakultas Hukum Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia, dengan nama Fakulteit Hukum dan Pengetahuan Masyarakat (dengan Dekan: Prof. Mr. Djokosoetono dan Panitera: Prof. Mr. Dr. Hazairin).
Kurikulum dan sistem pendidikan yang berlaku di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat pada dasarnya mengambil dari Faculteit der Rechtsgeleerdheid en Sociale Wetenschappen. Perubahan terjadi pada tahun 1969 dengan dilakukannya penyesuaian kepada keputusan-keputusan Konperensi Dinas Antara Fakultas Hukum Pembina se-Indonesia (Yogyakarta, 29-31 Agustus 1968) dan kemudian penyesuaian dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.0198/U/1972, tanggal 30 Desember 1972, tentang kurikulum minimal. Namun demikian, pola kurikulum maupun sistem pendidikan tidak berbeda jauh dengan pola lama Faculteit der Rechtsgeleerdheid en Sociale Wetenschappen, kecuali adanya penambahan mata kuliah, diintroduksikannya sistem studi terpimpin dan pembagian tahun kuliah dalam semester.
Perubahan yang cukup mendasar dilandaskan pada Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0124/U/1979, tanggal 8 Juni 1979 tentang Sistem Kredit Semester (peraturan tahun 1972 dan 1979 ini telah diubah lagi dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 26 Juni 1982, yaitu No. 0211/U/1982 dan No.0212/U/1982). Berdasarkan peraturan-peraturan terakhir inilah telah dikeluarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia No. 121/SK/D/FH/7/82, tanggal 31 Juli 1982. Perlu pula diperhatikan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi No. 30/DJ/KEP/1983, tanggal 27 April 1983 tentang Kurikulum Inti Program Pendidikan Sarjana Bidang Hukum yang telah dijabarkan ke dalam Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia No. 210/SK/D/ FH/7/1986.
Perubahan dalam organisasi fakultas terjadi pada tahun 1959 dengan dibukanya Jurusan Publisistik. Pada tahun 1960 Fakultas Hukum membuka pula pendidikan dengan kuliah sore yang dikenal dengan nama Bagian Extension Course atau Fakultas Hukum Bagian Sore yang lebih diperuntukkan bagi mahasiswa yang telah bekerja. Pembukaan Bagian Extension ini didasarkan pada Surat Keputusan Ketua Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Prof. Mr. Djokosoetono No. 4/915/Ib/61/K tanggal 1 Agustus 1961. (Berdasarkan SK Dekan No. 92/I/4/1994 tanggal 30 April 1994 sekarang program tersebut dinamakan Program Ekstension Fakultas Hukum UI).
Sebagaimana dikemukakan di atas, sejak Februari 1950 nama Fakultas diganti menjadi Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan. Dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perguruan Tinggi No. 42, ter-tanggal 6 Mei 1968, maka Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (dikenal pula dengan singkatan FH & IPK) dipecah menjadi Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (mulai 1 Pebruari 1968 dan selesai sepenuhnya pada 1 April 1969), kemudian dikenal dengan nama Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan sekarang Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Suatu bagian pendidikan yang sudah sejak semula berada di Fakultas adalah pendidikan notariat (lebih dikenal dengan nama Jurusan Notariat). Pendidikan ini telah ada sejak penggabungan tahun 1950 (pada masa Universiteit van Indonesië pendidikan ini dipimpin oleh Prof. Mr. Slamet, dan pada masa Universitas Indonesia pimpinan awal dipegang oleh Prof. Mr. Tan Eng Kiam dan Prof. Mr. R. Soedja). Sejak tahun 1965, dengan dihapusnya ujian negara untuk tingkat I dan tingkat II pendidikan notariat, maka pendidikan ini secara resmi bersifat universiter dan disebut sebagai Jurusan Notariat pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan lama pendidikan dua tahun. Sekarang jurusan ini dikenal sebagai Program Spesialis Notariat dan Pertanahan.
Pada tahun 1979 Fakultas Hukum mulai merencanakan pembukaan suatu program pendidikan pasca sarjana (Stratum-2) guna memberikan pendidikan spesialisasi dan persiapan penulisan disertasi kepada lulusan fakultas hukum. Untuk itu telah dibentuk Panitia Kerja Persiapan Pembentukan/Penyusunan Program Pasca Sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang diketuai oleh Mardjono Reksodiputro, S.H., MA. Menurut SK Dekan No. 49 tahun 1979 (20 Oktober 1979) tugas panitia harus selesai dalam waktu enam bulan. Karena tugas ini belum selesai pada waktu tersebut, maka diadakanlah perubahan personalia dan perpanjangan jangka waktu dengan SK Dekan No. 52 dan No. 63 tahun 1980 dengan ketua yang sama. Tugas Panitia dapat diselesaikan pada tanggal 16 Januari 1981 dengan menyarankan kurikulum, dosen serta pembagian dalam tiga program studi. Tugas persiapan selanjutnya dilakukan oleh suatu panitia baru yang diketuai oleh Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H. dengan SK Dekan No. 82 tahun 1981 (19 Januari 1981), yang selanjutnya memimpim program ini selaku Koordinator Bidang Ilmu Hukum Fakultas Pasca Sarjana UI (sekarang: Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia).
Urutan Dekan Fakultas Hukum selama ini adalah sebagai berikut: Prof. R. Djokosoetono, S.H. (alm. 1950-1962), Prof. Soejono Hadinoto, S.H. (alm. 1962-1964), Prof. R. Subekti, S.H. (1964-1966), Prof. Oemar Seno Adji, S.H. (alm. 1966-1968), Prof. R. Soekardono, S.H. (alm. 1968-1970), Padmo Wahjono, S.H. (alm. 1970-1978), Ny. S.J. Hanifa Wiknjosastro, S.H. (1978-1984), Mardjono Reksodiputro, S.H., MA (1984-1990), Prof. Dr. Ch. Himawan, (1990-1993), dan Prof. R.M. Girindro Pringgodigdo, S.H. (alm, 1993-1998).
Dengan wafatnya Prof. R.M. Girindro Pringgodigdo, S.H., pada tanggal 3 April 1997, jabatan dekan diteruskan oleh Prof. Dr. Sri Setianingsih Suwardi, S.H., M.H. sebagai pejabat Dekan sampai dengan ditetapkan dekan yang baru, Abdul Bari Azed, S.H., M.H. (1999-2003), Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. (2004-2008)
Kemudian yang menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) pada saat postingan ini diturunkan adalah Prof. Safri Nugraha, S.H., LL.M., Ph.D.
Rabu, 08 Juni 2011
Minggu, 05 Juni 2011
Gugatan Dalam Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara
GUGATAN DALAM PERADILAN
TATA USAHA NEGARA
(Tugas Ujian Tengah Semester)
OLEH :
YAKOP A. R MAHMUD
NIM : 271 409 169
ILMU HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu ciri negara hukum moderen adalah adanya perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia termasuk perlindungan hukum terhadap warga negara dari tindakan sewenang-wenang penguasa. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, selalu terjadi interaksi hubungan antara pejabat negara dan masyarakat. Hubungan interaksi tersebut kebanyakan biasanya terjadi karena adanya tugas-tugas pemerintahan dan pembanunan yang dilakukan oleh Pejabat negara dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hubungan antara pejabat administrasi negara sebagai pelaksana urusan pemerintahan dan pembangunan dengan masyarakat, sering terjadi benturan kepentingan yang melibatkan kedua pihak. Benturan kepentingan ini biasanya diakibatkan oleh adanya keputusan pejabat negara.
Tindakan hukum Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dituangkan dalam bentuk Keputusan tertulis, dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan. Disatu sisi, keputusan tersebut diambil atas dasar kewenangan yang diberikan, namun disisi lain, pelaksanaan keputusan tidak boleh mengurangi hak-hak warga negara. Setiap keputusan Badan/pejabat Tata Usaha Negara harus berdasarkan prinsip negara hukum, oleh karena itu, keputusan tersebut tidak boleh melanggar hak-hak warga negara.
Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang mempunyai tugas dan wewenang : “memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN (pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku . Pasal 1 angka 4 UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004).
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu lembaga pelaksanan kekuasaan kehakiman yang memberi keadilan bagi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara. Setiap warga negara berhak mengajukan gugatan terhadap keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, apabila keputusan tersebut merugikan kepentingan orang yang bersangkutan. Peradilan Tata Usaha Negara yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, dianggap masih belum secara signifikan melindungi kepentingan masyarakat. Adanya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, memberi perubahan bagi kemajuan hukum yang melindungi kepentingan individu sebagai warga negara.
B. RUMUSAN MASALAH
Yang menjadi Pembahasan makalah ini adalah dasar pengajuan gugatan pada Peradilan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Masalah dalam tulisan ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan PTUN?
2. Apa yang dimaksud dengan sengketa TUN? Serta landasan yuridisnya?
3. Apa dasar pengujian PTUN terhadap KTUN sebagai objek sengketa dalam gugatan ke-TUN?
4. Bagaimanankah bentuk pengmbilan putusan yang dikeluarkan PTUN terhadap KTUN sebagai objek sengketa?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
Yang menjadi tujuan penulisan makalah yang berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah :
1. Mahasiswa dapat mengetahui apa yang maksud dan tujuan di bentuknya PTUN.
2. Mahasiswa dapat memahami sengketa TUN serta dapat menjabarkan landasan yuridisnya secara eksplisit.
3. Mahasiswa dapat mengetahui apa yang menjadi sengketa TUN dan proseduralnya.
4. Mahasiswa dapat memahami pengambilan keputusan dalam PTUN terhadap KTUN yang menjadi objek sengketa.
Dan yang menjadi tujuan penulisan makalah yang berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) ini adalah :
1. Sebagai bahan imformasi dan pengetahuan bagi pihak yang berkepentingan (dalam hal ini mahasiswa) dalam melihat kualitas dan kinerja PTUN dalam sengketa KTUN.
2. Untuk memperkaya kajian-kajian tentang Tata Usaha Negara (TUN), khususnya mengenai sengketa dan penyelesaiannya di-PTUN pada era reformasi sekarang ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERRADILAN TATA USAHA NEGARA
Indonesia adalah negara hukum. Dalam prinsip negara hukum demokrasi terdapat adanya pembagian kekuasaan, dan salah satu kekuasaan dalam pemerintahan adalah kekuasaan kehakiman (judicative). Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara, yang berada di bawah Mahkamah Agung. Pentingnya PTUN adalah untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya sengketa antara pemerintah dengan warga Negara akibat adanya kegiatan pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. PTUN berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa di bidang Tata Usaha Negara (TUN). Sengketa TUN adalah sengketa yang timbul antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang mempunyai tugas dan wewenang : “memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN (pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku . Pasal 1 angka 4 UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004).
Perbuatan hukum yang dilakukan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara bersumber pada tiga hal yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Selain tiga sumber tersebut, Badan/Pejabat Tata Usaha Negara diberi kebebasan untuk melakukan tindakan dan keputusan bebas (discretionary decission) berdasarkan freies ermessen. Pengambilan keputusan secara bebas dilakukan karena dua hal, yaitu : tidak semua tindakan diatur dalam perundang-undangan, dan pelaksanaan pemerintahan dalam konsep negara kesejahteraan (walfare state).
B. SENGKETA TUN DAN LANDASAN YURIDISNYA
Dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004 menjelaskan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang mempunyai tugas dan wewenang : “memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN (pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku .
Berdasarkan uraian tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa yang menjadi subjek di Peradilan TUN adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat, dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat. Sementara itu yang menjadi objek di Peratun adalah Surat Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) “Keputusan Tata Usaha Negara adalah Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.” Selanjutnya dari pengertian ataupun definisi Keputusan TUN tersebut di atas, dapat diambil unsur-unsur dari suatu Keputusan TUN, yang terdiri dari:
1. Bentuk Penetapan tersebut harus Tertulis. Maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya jelas bersifat konkrit, individual dan final. Serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum ` Perdata.
2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN. Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. Selanjutnya Mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 : “Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Sedang yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di Peratun.
3. Berisi Tindakan Hukum TUN. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum TUN. Berdasarkan Peraturan Per UU an yang Berlaku.
Kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN pemerintah.
Kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN pemerintah.
4. Bersifat Konkret, Individual dan Final. Keputusan TUN itu harus bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, seperti Pemberhentian si X sebagai Pegawai, IMB yang diberikan kepada si Y dan sebagainya. Bersifat Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat maupun hal yang dituju. Jadi sifat indivedual itu secara langsung mengenai hal atau keadaan tertentu yang nyata dan ada. Bersifat Final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan Penetapan Tertulis itu harus sudah menimbulkan akibat hukum yang definitif. Dengan mengeluarkan suatu akibat hukum yang definitif tersebut ditentukan posisi hukum dari satu subjek atau objek hukum, hanya pada saat itulah dikatakan bahwa suatu akibat hukum itu telah ditimbulkan oleh Keputusan TUN yang bersangkutan secara final. Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang / Badan Hukum Perdata. Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada, seperti melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan hukum yang telah ada, menetapkan suatu status dan sebagainya.
Selanjutnya dalam pasal 2 UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004. Dijelaskan pengecualian dari Pengertian Keputusan TUN, yaitu :“ Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini :
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum
Selanjutnya Pembatasan KTUN yang dapat dijadikan obyek sengketa TUN berada pada pasal 1 ayat 3, pasal 2 huruf a sampai g, pasal 49 ayat 1 dan 2 Undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan TUN. Sengketa TUN hanya terjadi bila KTUN tersebut merugikan pihak yang ditujukan. Misalnya :
1. Sengketa keabsahan penerbitan sertifkat hak milik tanah atau sengketa kepemilikan tanah
2. SK pemberhentian tidak dengan hormat
3. Gugatan tata usaha negara Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu gubernur NTB periode 2008-2013.
4. Penyalahgunaan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk tujuan lain daripada yang dimaksudkan dalam undang-undang.
Penggunaan prosedur yang lain daripada prosedur yang telah ditentukan sebelumnya
Penggunaan prosedur yang lain daripada prosedur yang telah ditentukan sebelumnya
5. Pemerintah beri izin khusus BUMN Pertambangan. Izin khusus itu mengharuskan para kepala daerah untuk mendahulukan perusahaan milik pemerintah ketimbang perusahaan tambang swasta dalam memberikan izin kuasa pertambangan.
6. Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
7. Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang tidak sah.
C. Dasar Pengujian Keputusan TUN
Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dinyatakan bahwa: “Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi”. Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
I. Keputusan TUN Bertentangan Dengan Peraturan Perundang-Undangan.
Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 bahwa, yang termasuk dalam kelompok Peraturan Perundang-Undangan adalah: (1) Undang-Undang Dasar 1945; (2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (3) Peraturan Pemerintah; (4) Peraturan Presiden; dan (5) Peraturan Daerah. Selain 5 (lima) peraturan tersebut sebagai peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan lembaga kenegaraan memiliki kedudukan sebagai peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 53 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan istilah ”Perundang-Undangan Yang Berlaku”. Tidak ada penjelasan mengenai istilah tersebut, namun dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ”Perundang-Undangan yang berlaku” adalah hukum positif. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang telah dicabut, atau pasal-pasal yang dinyatakan tidak berlaku oleh Badan/Pejabat yang berwenang, tidak dapat dijadikan sebagai dasar bagi hakim PTUN untuk melakukan pengujian terhadap Keputusan Badan/Pejabat TUN.
Mengacu pada pengertian Peraturan Perundang-Undangan yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka hukum yang ”tidak” tertulis dan dikeluarkan oleh Badan/Pejabat yang ”tidak” berwenang, tidak dapat dijadikan dasar untuk menguji keputusan Badan/Pejabat TUN.
Kata ”bertentangan” tidak dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. Kata ”bertentangan” dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 53 Ayat (2a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu: (a) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan yang bersifat prosedural (formal); (b) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan yang bersifat substansial (materil); dan (c) dikeluarkan oleh Badan/Pejabat yang tidak berwenang.
II. Bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
Sebagian ahli berpendapat bahwa Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) merupakan asas-asas hukum yang tidak tertulis, dan dalam keadaan tertentu dapat ditarik dalam aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan. Praktek hukum di Belanda, AAUPB yang mendapat tempat dalam aturan hukum adalah: (1) asas persaman; (2) asas kepercayaan; (3) asas kepastian hukum; (4) asas kecermatan; (5) asas pemberian alasan (motivasi); (6) asas larangan penyalahgunaan wewenang (detournement depouvoir).
Sebelum adanya perubahan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, AAUPB belum dijadikan sebagai alasan gugatan, namun setelah adanya Undan-Undang Nomor 9 Tahun 2004, AAUPB secara resmi dituangkan dalam Undang-Undang tersebut sebagai dasar pengajuan gugatan. Dalam undang-undang ini tidak secara mendetail menyebutkan AAUPB, karena acuannya mengacu pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.
Dalam teori hukum, AAUPB terdiri atas 13 (tiga belas bagian) sebagaimana yang dikemukakan oleh Marbun dan Mahfud, serta menurut pendapat Ridwan HR, namun dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 bahwa, AAUPB hanya meliputi 7 (tujuh) bagian, yaitu: (1) kepastian hukum; (2) tertib penyelenggaraan negara; (3) kepentingan umum; (4) keterbukaan; (5) proporsionalitas; (6) profesionalitas; (7) akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Pengertian AAUPB disebutkan dalam Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, yaitu:
- Asas kepastian hukum adalah asas yang mengutamakan landasan Peraturan Perundang-Undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
- Asas tertib penyelenggara negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
- Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
- Asas keterbukaan adalah membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
- Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
- Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
- Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara.
D. Putusan Peradilan TUN
Jika pemeriksaan sengketa telah selesai kedua pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat masing-masing yang berupa kesimpulan setelah ini dikemkakan oleh para pihak , siding ditunda untuk memberi kesempatan kepada Majelis Hakim untuk bermusyawarah dalam ruang tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu yang dikemukakan dalam sidang,dan diberi putusan atas sengketa.
Putusan pengadilan yang akan diambil oleh hakim dapat berupa ( Pasal 97 ayat (7) :
Ø Gugatan ditolak
Ø Gugatan dikabulkan.
Ø Gugatan tidak diterima
Ø Gugatan gugur.
Terhadap gugatan yang dikabulkan, maka pengadilan akan menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan kepada Badan atau Pejabat TUN selaku Tergugat, yaitu berupa Pasal 97 ayat (9) Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan. Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru. Penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3. Disamping kewajiban-kewajban tersebut pengadilan juga dapat membebankan kewajiban kepada Tergugat untuk membayar ganti rugi dan pemberian rehabilitasi dalam hal menyangkut sengketa kepegawaian.
Dalam hal gugatan dikabulkan, dalam putusan Pengadilan dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN berupa: pencabutan KTUN yang disengketakan pencabutan KTUN yang bersangkutan disertai penerbitan KTUN yang baru, atau menerbitkan KTUN (yang tadinya tidak diterbitkan.
Kewajiban ini tidak disertai pembebanan ganti rugi. Bila putusan itu mengenai masalah kepegawaian maka di samping kewajiban tersebut dapat disertai melakukan rehabilitasi.
Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Ps. 108). Ini merupakan syarat mutlak sebab jika tidak demikian maka hal ini berakibat bahwa putusan pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum (Ps. 108 ayat 1 jo 3). Apabila salah satu pihak tidak hadir pada waktu putusan pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang, salinan putusan disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adanya suatu kepentingan yang dirugikan, merupakan suatu alasan yang digunakan oleh orang atau badan hukum privat dapat mengajukan gugatan tertulis kepada PTUN untuk menuntut agar KTUN dinyatakan batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum. Pihak yang merasa kepentingannya dirugikan sebagai akibat keluarnya KTUN dan menggugat KTUN di PTUN. Kepentingan adalah hak yang seharunsya dilindungi oleh hukum, dan kerugian dalam sengketa tata usaha negara harus dapat diukur secara materil yang dapat dinilai dengan uang.
Dasar pengujian KTUN bagi hakim adalah: (1) Keputusan pejabat TUN itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) Keputusan Pejabat TUN bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintaha Yang Baik (the general principles of good government) sebagaimana yang terdapat dalam UU 1999/28 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. AAUPB adalah meliputi: (1) kepastian hukum; (2) tertib penyelenggaraan negara; (3) kepentingan umum; (4) keterbukaan; (5) proporsionalitas; (6) profesionalitas; (7) akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam UU 1999/28 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
B. Saran
Dalam pembahasan makalah ini saya telah menguraikan berbagai macam persoalan yang berkaitan dengan PTUN dalam penyelesaian sengketa TUN dan juga landasan yuridisnya, agar supaya masyarakat pada umumnya dan mahasiswa ilmu hukum pada khususnya tidak terjebak pada hal-hal yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.
DAFTAR REFERENSI
- Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia, cet.2, Malang, 2005.
- Yos Johan Utama, Menggugat PTUN Sebagai Salah Satu Akses Warga Negara Untuk Mendapatkan Keadilan Dalam Perkara Administrasi Negara, UMS e-jurnals, Vol. 10, No. 1, Maret 2007, hlm. 40-41
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaran Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasan Kehakiman
- Hardi Anwar dan Abdullah Harahap, Artikel: Sengketa Tata Usaha Negara, www.diaryhukum.co.ac/.../alurpenyelesaiansengketatatausahanegara.html,
- Agung juari, Artikel : Contoh ugatan PTUN, http://agungjuari.blogspot.com/2008/12/contoh-gugatan-ptun.html
- Safiudin, artikel : gugatan dalam peradilan TUN http://safiudin.wordpress.com/2009/12/30/gugatan-dalam-ptun
Langganan:
Postingan (Atom)